Tuesday, October 4, 2011

Sekali-kali bicara soal negeri

Sore yang mengeyangkan kali ini tiba-tiba mengingatkan saya pada percakapan suami kemarin sore. Memang saya akui jika saya bersama dia, kebanyakan bahan omongan dia adalah masalah negeri yang amburadul dan semraut pemimpinnya. Mungkin karena dia sebagai pegawai negeri jadi agak mengetahui bagaimana sepak terjang oknum orang-orang yang gak bertanggung jawab. Kita semua tidak buta. Dijaman reformasi seperti ini, kebebasan memang tidak dibatasi. Lihat saja berita-berita di tv, kalau menyangkut politik, semua berbicara, semua beragumen, semua berdebat, yang paling lantang terkadang membawa opini bahwa yang dikatakannya benar, atau malah terkadang membawa opini bahwa dia sedang menutupi kesalahannya. Ya begitulah panggung sandiwara dunia perpolitikan.
Saya memang mahasiswa hukum, namun entah mengapa kalau menyangkut politik, tiba-tiba saja kepala ini pusing rasanya.

Bicara soal politik tidak pernah ada habisnya. Apalagi soal korupsi. Saya ingin mengulas hal simple saja yang kadang justru tidak pernah terpikirkan oleh kita. Masalah parkir. PARKIR. Sengaja saya tulis ulang dengan huruf kapital. Mungkin parkir adalah hal sepele tapi rutin kita lakukan. Setiap kita kemanapun selama membawa kendaraan pasti kita parkir dan pastinya membayar uang parkir. Uang parkir sendiri dijakarta 500 rupiah rasanya sudah tidak jaman. 1000 pun jadi terkesan kecil semenjak uang selembar 2000an merajalela. Pengalaman pribadi saya, saya suka tidak ikhlas membayar parkir jika si tukang parkir hanya menagih uang saja tanpa membantu mengeluarkan atau memberi jalan untuk kendaraan kita. Saya lebih suka membayar parkir kepada petugas parkir yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Bahkan kadang jika kita memberi uang 2000an, dia mengembalikannya 1000 rupiah. Tukang parkir yang jujur. Lantas bagaimana dengan si petugas parkir yang abal? Itu sering kita temui di pasar-pasar tradisional atau warung makan pinggir jalan. Kebanyakan dari mereka cenderung mengarah ke premanisme, pemalakan secara tidak langsung. Mereka sengaja memasang muka garang, rokok dimulut, tato ditangan, atau apalah yang bisa menakuti kita dan membuat kita ingin memberi cepat-cepat dua ribu rupiah untuk kabur dari hadapannya. Sejujurnya saya muak.

Tukang parkir abal sendiri tidak berdiri sendiri, saya pernah menonton ulasan berita bahwa dibelakang mereka juga berdiri oknum aparat pemerintahan. WOW. HEBAT!! Mereka memberi setoran ke oknum aparat tersebut yang cenderung dalam jumlah yang lebih besar dibanding diri mereka sendiri yang seharian "lelah" menjadi tukang parkir. Bukan hanya tukang parkir saja, bahkan portitusi didaerah rumah saya -cipina**- yang notabenenya dekat Lembaga Permasyarakatan, kini semakin menjamur saja para kupu-kupu malam itu "mengobral" dirinya, secara terang-terangan selama bertahun-tahun. Mana aparat kita?? Mereka "memalingkan wajah" demi seonggok uang setoran yang mereka dapat. Hasilnya AMAN.

Mau sampai kapan negeri ini begini? Untuk masalah parkir sendiri, saya mendengarkan suami saya memberi saran bahwa sebenarnya ini bisa diatas. PARKIR BEBAS PREMANISME. Bisa saja pemerintah khususnya pemda setempat menerbitkan PP baru yang intinya "semua petugas parkir wajib memiliki tiket parkir yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat" Gambarannya seperti ini : pemerintah menerbitkan tiket parkir resmi untuk tempat parkir yang selama ini tidak ada legalitasnya (tidak seperti di mall yang menggunakan mesin). Harga tiket parkir dari pemerintah 500 perak, si petugas parkir bisa menjual kepada konsumen yang parkir seharga 1000 perak. Jadi pemerintah untung, petugas parkir tidak merasakan dirugikan.Ini mengurangi premanisme dan petugas parkir abal di jakarta khsusnya dengan catatan PEMERINTAH TIDAK MENGKORUP SAMA SEKALI dan PETUGAS PARKIR BENAR-BENAR ORANG YANG MENGERTI DUNIA PERPARKIRAN. Anda yang membaca akan optimis atau pesimis?

Lagi-lagi ngomongin soal pemerintah, rasanya gemass sekali. Gaji mereka sudah lumayan besar, kenapa masih kurang dengan koruspsi kecil-kecilan. Korupsi kecil-kecilan sering kita temui. Suami saya sendiri misalnya, dia bekerja pada salah satu instansi negara. Dirjen Paj**. Dia sering menjadi imbas kekesalan kliennya atas korupsi kecil-kecilan yang terjadi. Bukan di kantor maupun sama suami saya. Misalnya sang klien ingin beban paj** diperkecil karena ketidaksanggupan untuk membayar, si klien sendiri wajib memenuhi data-data dari tingkat rt sampai kecamatan. Nah disitulah korupsi kecil-kecilan terjadi, untuk memperlancar semuanya, uang sepuluh atau dua puluh ribu ternyata dibutukan. Coba bayangkan, kalau dari rt sampai kecamatan si klien memberikan uang masing-masing duapuluh ribu, sudah delapanpuluhribu dia mengeluarkan uangnya untuk memperoleh syarat-syarat peringan paj** yang dia ajukan.Padahal itu semua harusnya GRATIS. Di kantor suami saya dan kantor paj** lainnya sendiri TIDAK PERNAH memungut biaya untuk mengurusi hal-hal seperti itu. Semua akan dilayani dengan sama, kalau kliennya memenuhi syarat misalnya memang benar-benar miskin sehingga tidak mampu membayar paj**.

Ya, luapan sore ini cukup sekian saja, saya kira kita semua tidak buta akan hal itu. Terkadang saya pun jadi ikutan nyolot jika itu menimpa didiri saya. Kebudayaan yang tidak perlu dilestarikan dan dijaga dengan baik adalah KORUPSI. Besar kecilnya, semua akan dibalas oleh Allah SWT. "Selamat bersenang-senang wahai koruptor didunia, selamat menderita di akhirat nanti. "Semoga dikala ajal menjemput, kalian tidak sedang terserang penyakit stroke, jantung, ginjal, alergi atau penyakit lupa."



Versus





















No comments:

Post a Comment